Pengertian Dan 7 Faktor Hakikat Insan - Habibullah Al Faruq
Manusia menjadi makhluk ciptaan Tuhan yang paling tepat di antara makhluk lainnya lantaran memang insan diberikan karunia yang lebih , yakni dengan mempunyai nalar , anggapan dan perasaan.
Maka dari itu , dengan dibekali oleh adanya nalar , anggapan dan perasaan dari Tuhan , pastinya insan bisa menegaskan yang terbaik di antara mana saja yang dapat diambil di dalam hidup manusia.
Hakikat insan juga mempunyai terlalu banyak arti , seumpama :
- Makhluk yang mempunyai tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya dalam rangka menyanggupi segala kebutuhan.
- Individu yang mempunyai sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laris intelektual dan sosial.
- Mampu mengarahkan dirinya terhadap tujuan yang bersifat positif , bisa menertibkan dan mengontrol dirinya , serta bisa untuk menegaskan nasibnya.
- Makhluk yang dalam proses menjadi langsung yang meningkat dan terus bertambah , tak pernah tamat (tuntas) selama masa hidupnya.
- Individu yang di dalam hidupnya senantiasa melibatkan dirinya dalam kerja keras guna merealisasikan dirinya sendiri , menolong orang lain dan bikin dunia menjadi jauh lebih baik untuk ditempati.
- Suatu eksistensi yang mempunyai potensi dengan perwujudannya menjadi ketakterdugaan dengan potensi yang tidak terbatas.
- Makhluk Tuhan yang memiliki arti ia yakni makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
- Individu yang sungguh dipengaruhi oleh lingkungan , utamanya pada lingkungan sosial , bahkan ia tak bisa meningkat sesuai dengan martabat kemanusiaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.
Kehadiran insan pertama tak terlepas dari adanya asal-usul kehidupan di alam semesta. Asal-usul insan menurut ilmu wawasan tak bisa dipisahkan dari teori mengenai spesies lain yang telah ada sebelumnya dengan lewat proses evolusi.
Aspek Hakikat Manusia
![]() |
| Hakikat Manusia , via http://sas.rutgers.edu |
1. Manusia selaku Makhluk Tuhan
Manusia menjadi subjek yang mempunyai kesadaran dan penyadaran diri. Maka dari itu , insan menjadi subjek yang menyadari akan keberadaannya.
Tidak cuma itu saja , insan juga bisa untuk membedakan dirinya dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya (objek) disamping itu , yang mana bukan saja mempunyai kesanggupan berpikir mengenai diri dan alam di sekitarnya , melainkan juga sekaligus sadar mengenai pemikirannya.
Akan tetapi , sekalipun insan sadar perbedaannya dengan alam jika dalam konteks keseluruhan alam semesta insan menjadi cuilan daripadanya.
Manusia berkedudukan selaku makhluk Tuhan YME , maka dalam pengalaman hidupnya terlihat bahkan bisa kita alami sendiri adanya fenomena kemakhlukan (M.I. Soelaeman , 1998).
Fenomena kemakhlukan ini antara lain berupa legalisasi atas kenyataan adanya perbedaan kodrat dan martabat insan ketimbang Tuhannya. Manusia mencicipi jika dirinya memang begitu kecil dan rendah di hadapan Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Tinggi.
Manusia juga mengakui adanya kekurangan dan ketidakberdayaan dibandingkan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa. Manusia serba tidak tahu , sedangkan Tuhan Serba Maha Tahu , tetapi insan juga tahu betapa pedih siksaan dariNya.
Semua melahirkan rasa ketakutan dan rasa takut dalam diri insan sendiri terhadap Tuhan. Akan tetapi , dibalik itu semua , diiringi juga dengan rasa hormat , rasa takjub dan rasa segan lantaran Tuhan yang begitu luhur dan begitu suci.
Semua itu dapat membangkitkan kesediaan dari insan untuk bisa bersujud dan berserah diri terhadap Sang Pencipta. Tidak cuma itu saja , menyadari akan Maha Kasih SayangNya Sang Pencipta , maka kepadaNya-lah , insan bisa berharap dan berdoa.
Dengan demikian , dibalik dari adanya rasa ketakutan dan takut yang timbul , timbul juga adanya segenggam kesempatan yang dapat mengimplikasikan kesiapan guna mengambil langkah-langkah yang jauh lebih baik di dalam hidupnya.
2. Manusia selaku Kesatuan Badan-Roh
Para filsuf beropini yang berkenaan terhadap struktur metafisik manusia. Ada sebanyak 4 paham mengenai balasan dari permasalahan yang timbul itu , yakni Materialisme , Idealisme , Dualisme dan paham yang mengungkap jika insan menjadi kesatuan badan-roh.
Materialisme
Gagasan para penganut Materialisme , seumpama Julien de La Mettrie dan Ludwig Feuerbach bertolak dari kenyataan , sebagaimana yang dapat dimengerti berdasar dari pengalaman diri atau observasi. Maka dari itu , alam semesta atau realitas ini tiada lain merupakan serba materi , zat atau bahkan benda.
Manusia menjadi cuilan dari alam semesta , sehingga insan tak berlawanan dari alam itu sendiri. Sebagai salah satu cuilan dari alam semesta , insan tetap mesti tunduk terhadap aturan alam , aturan mutu , aturan sebab-akibat atau stimulus-respon. Manusia dipandang selaku hasil puncak mata rantai evolusi alam semesta , sehingga prosedur tingkah laris menjadi makin efektif.
Yang esensial dari insan itu sendiri merupakan badannya , bukan dari jiwa atau rohnya. Manusia yakni apa yang nampak dari wujudnya , yang terdiri atas zat (daging , tulang dan urat syaraf). Segala hal yang bersifat kejiwaan , spiritual atau rohaniah pada diri insan , dipandang cuma selaku resonansi saja dari berfungsinya tubuh atau organ tubuh.
Pandangan korelasi antara tubuh dan jiwa seumpama itu dimengerti selaku Epiphenomenalisme (J.D. Butler , 1968).
Idealisme
Bertolak belakang dengan persepsi dari materialisme , penganut Idealisme menilai jika esensi diri insan merupakan jiwa atau spirit atau rohaninya , hal ini sebagaimana yang dianut oleh Plato.
Sekalipun Plato tak begitu saja mengingkari faktor tubuh , tetapi menurut Plato , jiwa mempunyai kedudukan yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan badan. Dalam relevansinya dengan tubuh , jiwa mempunyai tugas selaku pemimpin tubuh dan jiwa yang mempunyai imbas terhadap tubuh lantaran tubuh mempunyai ketergantungan terhadap jiwa.
Jiwa menjadi asas primer yang menggerakkan semua kesibukan insan , tubuh tanpa adanya jiwa tak akan mempunyai daya. Pandangan mengenai korelasi tubuh dan jiwa itu dimengerti dengan nama Spiritualisme (J.D. Butler , 1968).
Dualisme
Dalam uraian yang terdahulu , nampak adanya 2 persepsi yang saling bertolak belakang. Pandangan dari pihak pertama bersifat monis-materialis , sementara untuk persepsi pihak kedua bersifat monis-spiritualis.
C.A. Van Peursen (1982) mengemukakan paham lain yang secara tegas mempunyai sifat dualistik , yakni persepsi dari Rene Descartes. Menurut dari Descartes , esensi diri insan terdiri atas 2 substansi , yakni tubuh dan jiwa.
Maka dari itu , insan terdiri atas 2 substansi yang berlawanan (badan dan jiwa) maka antara keduanya itu tak terdapat korelasi yang dapat saling mensugesti satu sama lain (S.E. Frost Jr. , 1957) , tetapi demikian jika di setiap peristiwa kejiwaan senantiasa paralel dengan peristiwa badaniah atau justru sebaliknya.
Contoh jika jiwa sedang sedih , maka secara paralel , tubuh juga terlihat murung atau malah menangis. Pandangan yang terjadi korelasi antara tubuh dan jiwa itu dimengerti selaku Paralelisme (J.D. Butler , 1968).
Sebagai kesatuan badan-rohani , insan hidup di dalam ruang dan waktu , sadar akan diri dan lingkungannya , yang mempunyai aneka macam macam keperluan , insting , nafsu dan mempunyai tujuan.
Tidak cuma itu saja , insan juga mempunyai potensi untuk beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan potensi dalam berbuat baik , potensi untuk bisa berpikir (cipta) , potensi berperasaan (rasa) , potensi dalam berkehendak (karsa) dan mempunyai potensi untuk bisa berkarya.
Ada juga dalam eksistensinya , insan mempunyai faktor indivualitas , sosialitas , moralitas , keberbudayaan dan keberagaman. Implikasinya , maka insan tersebut berinteraksi atau berkomunikasi , mempunyai historistas dan dinamika.
3. Manusia selaku Makhluk Individu
Sebagaimana yang telah Anda alami jika memang insan sadar akan eksistensi dirinya sendiri , kesadaran insan akan dirinya sendiri juga menjadi sebuah bentuk perwujudan individualitas manusia.
Manusia selaku individu atau sosok langsung yang menjadi kenyataan paling riil dalam kesadaran manusia. Sebagai makhluk individu , insan menjadi satu kesatuan yang tak bisa dibagi , mempunyai perbedaan dengan insan lainnya , sehingga mempunyai karakteristik atau sifat yang unik dan menjadi subjek yang otonom.
Setiap insan mempunyai dunianya sendiri dan tujuan hidupnya sendiri. Masing-masing tentu telah secara sadar mempunyai upaya atau kesempatan yang besar lengan berkuasa guna menyediakan eksistensinya , ingin menjadi dirinya sendiri atau bebas bercita-cita untuk menjadi seseorang tertentu dan masing-masing bisa mengungkapkan jika , "inilah aku" di tengah segala kehidupan yang dijalaninya.
Setiap insan bisa mengambil distansi , menempati posisi , berhadapan , menghadapi , memasuki , menimbang-nimbang , bebas dalam mengambil sikap , sampai bebas dalam mengambil sebuah langkah-langkah atas tanggung jawabnya sendiri atau otonom. Maka dari itu , insan menjadi subjek dan tidak selaku objek.
4. Manusia selaku Makhluk Sosial
Manusia menjadi makhluk perorangan , melainkan juga insan tak hidup serta-merta secara sendirian saja , lantaran tidak mungkin hidup sendirian dan tidak pula hidup untuk dirinya sendiri saja. Manusia hidup di dalam keterpautan atau kesinambungan terhadap sesama.
Di dalam hidup bareng dengan antar sesama , setiap individu bisa menempati kedudukan atau status tertentu. Di samping itu juga , setiap individu mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masing-masing , yang mana juga mempunyai dunia bareng dan tujuan hidup bareng dengan sesama.
Selain dengan adanya rasa kesadaran diri yang tercipta , ada juga kesadaran sosial pada manusia. Melalui hidup dengan sesama inilah , insan bisa mengukuhkan eksistensinya. Sehubungan dengan hal ini , Aristoteles mengungkap jika insan menjadi makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat.
Setiap insan merupakan langsung (individu) dan adanya korelasi imbas timbal balik yang terjadi antara individu dengan sesama , maka idealnya menjadi suasana korelasi yang terjadi antara individu dan terhadap sesama , tidak menjadi korelasi antara subjek dan objek , melainkan korelasi yang terjalin atas subjek dengan subjek.
5. Manusia selaku Makhluk Berbudaya
Manusia memang mempunyai inisiatif dan kreativitas tersendiri untuk bikin sebuah kebudayaan , hidup yang berbudaya dan membudaya. Kebudayaan bukanlah sebuah hal yang ada di luar insan , melainkan hakikatnya itu sendiri juga termasuk perbuatan manusia. ( : 4 Dimensi Hakikat Manusia dan Pengembangannya)
Manusia tak akan terlepas dari yang namanya kebudayaan , bahkan insan juga gres menjadi insan lantaran dan bareng dengan kebudayaannya (C.A. Vanpeursen , 1957).
Kebudayaan tidak mempunyai sifat yang statis , melainkan mempunyai sifat dinamis. Kodrat dinamika yang ada di dalam diri insan mengimplikasikan adanya pergantian dan pembaharuan terhadap kebudayaan. Hal ini pastinya disokong oleh adanya imbas kebudayaan penduduk atau dari bangsa lain terhadap kebudayaan penduduk yang saling bersangkutan.
Selain itu , mengingat adanya pengaruh positif dan pengaruh negatif dari kebudayaan terhadap insan , kadang penduduk terombang-ambing diantara adanya 2 korelasi kecenderungan.
Di satu pihak ada yang melestarikan bentuk usang atau disebut juga dengan tradisi , sementara untuk di lain segi ada yang terdorong untuk bikin hal yang gres atau disebut juga dengan inovasi.
6. Manusia selaku Makhluk Susila
Dalam uraian yang terdahulu , telah dikemukakan jika insan sadar akan diri dan lingkungannya , mempunyai potensi dan kesanggupan untuk bisa berpikir dan berkehendak dengan bebas , bertanggung jawab , sampai mempunyai potensi untuk berlaku atau berbuat baik.
Maka dari itulah , eksistensi insan mempunyai faktor kesusilaan. Sebagai makhluk yang otonom atau makhluk yang mempunyai keleluasaan , insan senantiasa dihadapkan pada sebuah alternatif langkah-langkah yang mesti dipilih.
Adapula keleluasaan berbuat ini juga senantiasa mempunyai korelasi dengan norma sopan santun dan nilai sopan santun yang mesti dipilih. Karena memang insan mempunyai keleluasaan untuk menegaskan dan menegaskan perbuatannya secara otonom , maka senantiasa ada analisa sopan santun atau permintaan pertanggung balasan atas segala perbuatan yang telah dilakukan.
7. Manusia selaku Makhluk Beragama
Aspek keberagaman menjadi salah satu karakteristik yang cukup esensial , eksistensi insan yang terungkap di dalam bentuk legalisasi atau kepercayaan atas kebenaran dari agama yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku.
Hal ini ada dalam diri insan manapun , baik itu dalam rengant waktu yang dahulu -sekarang , atau yang mau tiba , maupun dalam rentang geografis , di mana insan itu berada. Keberagaman menyiratatkan adanya legalisasi dan pelaksanaan yang sungguh dari sebuah agama.
Di lain pihak , Tuhan juga telah menurunkan wahyu lewat utusanNya dan telah menggelar tanda di alam semesta untuk bisa dipikirkan oleh insan , sehingga insan menjadi beriman dan bertaqwa kepadaNya.
Manusia hidup beragama lantaran agama itu dapat menyangkut mengenai aneka macam macam problem yang bersifat mutlak , maka pelaksanaan keberagaman akan terlihat di dalam kehidupan , sesuai agama yang dianut oleh masing-masing individu tersebut.
Hal ini baik berkenaan dengan metode kepercayaan , metode peribadatan , ataupun berkenaan dengan pelaksanaan tata kaidah yang dapat menertibkan korelasi insan dengan Tuhan , korelasi insan dengan insan dan korelasi insan dengan alam.

Tidak ada komentar untuk "Pengertian Dan 7 Faktor Hakikat Insan - Habibullah Al Faruq"
Posting Komentar